Jumat, 28 April 2017

Kebun Teh di Gunung Dempo, Pagar Alam, Wisata Sumsel



Pagi itu, aku memulai perjalananku dari Kepahiang, Propinsi Bengkulu. Tujuanku adalah Pagar Alam, Sumsel. Hendak kemana aku kalau sudah sampai Pagar Alam nanti? Entahlah. Itu kupikirkan nanti saja setelah aku sampai sana. Sebenarnya yang membuatku tertarik mengunjungi Pagar Alam adalah banyaknya situs megalitikum yang tersebar di Pagar Alam dan Lahat.


Jalan antar kota di Pulau Sumatera, pulau terbesar ke-enam di dunia ini sangatlah sepi, berbeda dengan jalanan di Pulau Jawa yang selalu ramai bahkan di tengah malam sekalipun.


Setelah melewati jalanan yang berkelok dengan hutan dan semak belukar yang setia menemani perjalanan, kami tiba di perbatasan Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan. Sebuah tugu tinggi dengan seekor burung besar di puncak tugu menyambut kedatangan kami di perbatasan ini. Sungai Musi terlihat di sebelah kanan kami, menggantikan semak belukar yang sejak awal perjalanan menemani kami.

Begitu melewati jembatan, kami harus berbelok ke kanan, meninggalkan Sungai Musi yang masih setia mengalir ke arah timur dan berhilir di Palembang nun jauh disana.


Empat Lawang kami lewati, tak berapa lama kemudian masuklah kami ke wilayah Pagar Alam. Begitu masuk wilayah Pagar Alam, Gunung Dempo yang berdiri gagah menyambut kami, dengan tulisan Pagar Alam di bagian tengah gunung.

“Bagaimana caranya sampai ke merk Pagar Alam itu?” tanya pak Edy, supir kami, pada orang yang dia temui di pinggir jalan. Merk artinya tulisan (dalam bahasa setempat).


Kami mulai mendaki Gunung Dempo menggunakan mobil, kalau jalan kaki naik gunung aku sudah tidak kuat, biasa, faktor U. Perkebunan teh terhampar luas menutupi Gunung Dempo. Sepertinya ini kebun teh terluas yang pernah kulihat, meski menurut berita yang beredar, perkebunan teh terluas di Indonesia ada di Gunung Kerinci (gunung tertinggi di Sumatera dan tertinggi kedua di Indonesia setelah gunung-gunung di Papua) dan merupakan kebun teh tertinggi kedua di dunia setelah kebun teh di Himalaya. Tapi karena aku belum pernah ke kebun teh Tanjung Aro Jambi, jadilah kebun teh di Gunung Dempo ini menjadi ‘kebun teh terluas yang pernah kukunjungi’ dengan luas 1.478 hektar.


Jalanan aspal yang mulus, meliuk-liuk ke atas, mengantar kami sampai tulisan Pagar Alam yang saking besarnya dapat terbaca dari kejauhan. Vila berwarna-warni menghiasi perkebunan teh ini. Sayang aku tidak sempat menginap di vila ini karena esoknya harus mengejar penerbangan ke Jakarta.

video tentang indahnya kebun teh di Gunung Dempo

Baca juga :

Kamis, 27 April 2017

Singapore - oleh Zita, kelas 2 SD

Saat itu aku bangun jam empat pagi untuk mandi lalu aku diantar om-ku ketempat damri-nya. Aku naik damri dari hotel sampai ke Bandara Adi Sucipto. Saat aku di bandara aku tidak takut. Saat naik pesawat aku takut, pesawat yang aku naiki adalah pesawat Silk Air. Di pesawat aku diberi mainan spongebob dan makanan gratis. Aku terbang selama dua jam, setelah sampai aku dijemput mas pemandu jalannya mas Kris namanya. Lalu aku ke hotel penginapannya lalu aku pergi cari makan bareng semuanya tapi aku makannya dibungkus karena sedang buru-buru lalu pergi ke stasiun pengganti tiket kereta kartu M-arti jika tidak pakai kartu M-arti tidak akan bisa masuk jadi bentuk mesinnya depannya ditutup lalu saat tempel kartu langsung kebuka penutupnya dan langsung naik kereta, jika naik keretanya di bawah keretanya jalannya di bawah tanah tapi kalau naik keretanya di atas, jalannya di atas jalannya di atas jalan raya. Kalau kereta di bawah turunnya bisa milih tapi kalau keretanya di paling atas tujuannya cuma di Sentosa Merlion.

Note : M-arti disini maksudnya MRT, tapi karena Zita tidak tahu cara menulisnya, jadilah dia tulis M-arti  *-*

Rabu, 19 April 2017

Indahnya Telaga Warna Dilihat dari Batu Pandang Dieng



Dieng, dataran tinggi terkenal di Jawa Tengah ini mempunyai banyak titik wisata, diantaranya adalah Batu Pandang, dimana kita dapat menikmati indahnya Telaga Warna dari tempat ini. Selain Telaga Warna, asap putih mengepul dari Kawah Sikidang juga dapat terlihat dari sini.


Rute menuju Dieng dapat kamu baca disini.

Trekking ke Batu Pandang dari tempat parkir Dieng Theater tidak terlalu jauh. Pemandangan yang menemani sepanjang jalan sangatlah cantik, sehingga lelah kaki yang melangkah bisa terlupakan. Tanaman sayur mayur berjajar rapi di kanan kiri jalan setapak.


Ada beberapa titik asyik di Batu Pandang yang dapat kita jadikan tempat berfoto cantik, dengan latar belakang yang ciamik. Beberapa tempat berfoto memungkinkan kita dapat mengambil foto tanpa terhalang orang lain. Tapi kalau hari libur harus sabar mengantre yaa.


Zita juga sempat berfoto sama si Owl yang ada di Batu Pandang ini. Kasihan owl-nya terlihat ngantuk, lha owl kan kalau malam biasa begadang, jadi kalau siang waktunya tidur, eh tapi malah harus melayani para pengunjung yang antri ingin foto bersama. Akhirnya si olw foto dengan muka terkantuk-kantuk, dan kalau sedang tidak ada orang yang ingin berfoto, dengan nikmatnya si owl memejamkan mata.
 
Zita dan si owl


 
ada yg sedang flying fox tuh di atas

kepulan asap kawah Sikidang tampak dikejauhan

Baca juga : 

Senin, 10 April 2017

Air Terjun Temam yang Berbentuk Seperti Tirai, Wisata Lubuk Linggau SumSel






Aku mendarat di Bandara Fatmawati Bengkulu, satu jam sebelum tengah malam. Seperti biasa, kegiatan pertama yang kulakukan begitu turun dari pesawat adalah menyalakan handphone. Ting. Ada pesan masuk dari si ayah. “Aku lagi di Kepahiang, dua jam perjalanan dari Bengkulu. Jalan antarkota di Sumatera rawan kalau malam hari, sepi dan serem, nggak seperti jalanan di Pulau Jawa yang selalu ramai, jadi kamu nginep aja dulu di Bengkulu, ntar biar dijemput sopirku namanya Aga”.

Tidak berapa lama kemudian, ting. Ada pesan baru masuk. “Selamat malam, saya Aga, yang disuruh jemput mbak Tyas. Saya sudah di depan pintu kedatangan, pakai kaos hitam dan celana pendek”.

Hmm, udah lama nih aku nggak janjian sama cowok, jadi deg-deg-an. Tengah malam pula, di tempat asing yang baru kali ini kudatangi, nggak kenal siapa-siapa, membuat gelisah dan gundah gulana. Singkat cerita, akhirnya aku bertemu dengan si Aga dan langsung diboyong ke Hotel Pasir Putih Resort.


Baru tidur beberapa saat, belum sempat mimpi, aku sudah harus bangun dan bersiap-siap karena si Aga mau menjemputku lagi, kali ini aku hendak dibawa ke Kepahiang. Pasrah deh, kemanapun kamu akan membawaku.

Jam enam berangkat dari Bengkulu, dengan berjalan santai melewati jalanan berliku, naik turun, kanan kiri hutan, akhirnya aku sampai Kepahiang jam delapan karena jalan banyak yang rusak sehingga mobil tidak bisa ngebut. Bukan hanya jalan yang jelek, ternyata sinyal disinipun juga jelek. Huhu, jadi nggak bisa update status.

Jam sembilan pagi, aku kembali berangkat, kali ini ke arah Lubuk Linggau Sumsel, bersama sopir yang lain lagi, bernama mas Edy. Kalau Aga orang asli Bengkulu, maka mas Edy ini asli Kepahiang. Saatnya mengucapkan salam perpisahan pada Aga. Ternyata, dua hari kemudian aku ketemu Aga lagi, yaitu ketika aku menjelajah rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu, ternyata Aga juga sedang mengantar turis laen dari Jakarta. Tapi ntar cerita ini di halaman berikutnya saja ya. Kita ngomongin Lubuk Linggau dulu yuk ah.

Dari Kabupaten Kepahiang, kami masuk wilayah Curup, yang merupakan ibukota Kabupaten Rejang Lebong. Selama melintasi jalan Curup, di kanan kiri jalan raya berjejer rumah-rumah tua yang terdiri dari dua lantai, terbuat dari papan-papan kayu dengan banyak sekali jendela yang mengelilingi rumah, dengan tangga menuju lantai dua yang terdapat di samping rumah (di bagian luar rumah).

Tidak berapa lama, aku sampai di perbatasan antara Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan. Tugu perbatasannya tidak semegah perbatasan antar provinsi di Pulau Jawa. Begitu melewati batas provinsi, berarti aku sudah masuk wilayah Lubuk Linggau.

Secara keseluruhan, jalan raya Kepahiang – Lubuk Linggau lebih mulus daripada jalan raya Bengkulu – Kepahiang. Kata penduduk lokal sih karena Gubernur Bengkulu saat ini berasal dari Lubuk Linggau, makanya jalan ke Lubuk Linggau terawat.

Lubuk Linggau, terkenal karena dilewati oleh jalan raya lintas Sumatera. Jadi nih katanya, kalau ada bus jurusan Jakarta – Medan, biasanya lewat jalan ini, jalannya luruuus membelah tengah Pulau Sumatera dari atas ke bawah. Aku jadi penasaran pengen nyobain bus jurusan Jakarta – Medan yang katanya berjalan selama tiga hari baru sampai tempat tujuan, dan melintasi tidak kurang dari tujuh provinsi.

Tujuan utamaku ke Lubuk Linggau adalah mengunjungi Air Terjun Temam. Untuk dapat sampai ketempat ini, aku sempat melewati Bandara Silampari yang berada di Lubuk Linggau. Bandara ini sekarang sudah melayani penerbangan ke Jakarta, sehingga warga Lubuk Linggau tidak perlu ke Bengkulu terlebih dahulu jika ingin terbang ke Jakarta.


dan, inilah dia Air Terjun Temam
Aku tertarik pada air terjun ini setelah membaca tulisan tentang Niagara mini yang ada di Sumsel, bernama Air Terjun Temam. Tidak begitu sulit menemukan air terjun ini. Dari jalan utama Curup – Lubuk Linggau, kita tinggal berbelok ke kanan ke arah Bandara Silampari. Dari sini, sudah terpasang spanduk besar bergambar Air Terjun Temam di setiap persimpangan jalan, kita tinggal mengikuti tanda panahnya.

Sepi. Hanya sepi yang kutemukan di tempat wisata unggulan Lubuk Linggau ini. Asyik. Tidak seperti kebanyakan tempat wisata yang ada di Pulau Jawa yang biasanya selalu padat dikunjungi wisatawan (sampai mau foto selfie aja susahnya minta ampun), di Air Terjun Temam ini hanya ada kami bertiga, aku, Zita, dan si ayah. “Kalau hari libur ramai mbak, tapi tidak seramai obyek wisata di Pulau Jawa sih” kata petugas tiket masuk setelah mengetahui kalau aku berasal dari Jawa.

Hanya dengan dua ribu rupiah per lembar tiketnya, aku mulai menapaki jalan menuju Air Terjun Temam. Dari tempat penjualan tiket, suara air bergemuruh sudah terdengar jelas, menandakan kalau air terjun terletak tidak begitu jauh dari sini. Benar saja, hanya beberapa puluh kali kaki melangkah, air terjun itu sudah terlihat di depan mataku.
 
tangga menuju air terjun
Di bagian atas samping air terjun, terdapat sebuah jembatan yang memungkinkan kita berfoto cantik dengan latar belakang air terjun yang seolah membentuk sebuah tirai.
 
di atas jembatan


Selain Air Terjun Temam, tempat wisata lain yang ada di Lubuk Linggau adalah Bukit Sulap dan WaterVang.

Baca juga :

Sabtu, 01 April 2017

Bus Wisata Gratis di Jakarta dan Cara Pindah Terminal di CGK



Cerita ini berawal ketika suatu hari si ayah memberi kabar kalau dia ada tugas di Takengon, Bengkulu, dan Lampung. “Aku mau ikut ke Aceh” serobotku waktu itu, karena memang aku pengen banget bisa ke 0 kilometer di Sabang. Tapi sayang, jadwal si ayah ke Takengon bertepatan dengan jadwal ujian sekolah Zita, akhirnya aku mengalihkan tujuan ke Bengkulu.

Sebelum ke Bengkulu, aku memilih tempat mana saja yang ingin kukunjungi, dan terpilihlah beberapa tempat menarik yaitu Kepahiang, Rejang Lebong, Lubuk Linggau (Sumsel), Pagar Alam (Sumsel), dan Lahat (Sumsel). Nama-nama tempat tersebut sering aku baca di buku pelajaran sekolah dulu dan sering juga muncul di berita koran maupun televisi, sehingga aku penasaran ada apa di tempat-tempat itu.

Seminggu sebelum keberangkatan, barulah aku berburu dua tiket untukku dan Zita. Setelah membandingkan harga, akhirnya aku mendapatkan tiga jadwal penerbangan dengan tiga maskapai yang berbeda, yaitu Jogja – Jakarta menggunakan Air Asia, Jakarta – Bengkulu naik Lion, sedangkan pulangnya Bengkulu – Jakarta pakai Garuda Indonesia.


Sayang tidak ada direct flight Jogja – Bengkulu. Bengkulu hanya menyediakan penerbangan langsung dari Jakarta, Lampung, Palembang, dan Batam.

Damri Magelang - Jogja
Perjalanan bermula dari Magelang. Untuk perjalanan dari Magelang menuju Bandara Adi Sucipto, kamu bisa menggunakan layanan bus damri yang berangkat tiap jam setiap harinya dari Hotel Wisata (itu lho, yang ada di dekat Jln. Ikhlas). Harga tiket sekali jalan Rp50.000. Selain ke bandara, damri ini juga melayani perjalanan menuju Stasiun Tugu.

Cara Pindah Terminal di CGK
Mendarat di Bandara Soekarno Hatta dengan menggunakan Air Asia, aku diturunkan di terminal 2F. Karena aku akan terbang lagi menggunakan Lion yang terbang dari terminal 1B, jadi aku harus berpindah terminal di Bandara Soetta yang super luas ini. Untung aku transitnya lama, sekitar lima jam, jadi bisa pindah terminal menggunakan shuttle bus yang gratis itu. Kalau penerbangan selanjutnya mepet banget waktunya, mending naik taksi dengan biaya sekitar Rp50.000.

Pintu kedatangan biasanya berada di lantai bawah, sedangkan shuttle bus keliling di lantai atas, jadi kamu harus naik dulu ke lantai atas ya, jangan nungguin shuttle bus di lantai bawah, nggak bakalan ketemu. Kalau taksi banyak di lantai bawah, makanya yang waktu transitnya sebentar banget, mending langsung naik taksi begitu keluar dari pengambilan bagasi, biar tidak ketinggalan penerbangan selanjutnya.

Rute shuttle bus bandara gratis ini urut, dari terminal 1, ke terminal 2, lanjut terminal 3, kemudian lewat lagi terminal 1 dan seterusnya. Jadi aku yang mendarat di terminal 2 kemudian harus terbang lagi dari terminal 1, mau nggak mau wisata bandara dulu, muter-muter mengunjungi terminal 3 dulu. Jangan sampai salah naik damri keluar bandara ya, soalnya bentuk bus-nya mirip antara yang cuma keliling di dalam bandara dengan yang sampai keluar bandara.

Bus Wisata Gratis Keliling Jakarta
Nah, mumpung ngomongin Jakarta nih, aku mau cerita tentang bus wisata gratis keliling Jakarta. Cerita tentang perjalanan ke Bengkulu lanjut besok lagi ya.

Bagi kamu yang ingin keliling Jakarta gratis, ada nih bus tingkat yang bisa kamu naiki, mau keliling Jakarta dari pagi sampai sore juga boleh lho, mumpung gratis. Awalnya sebenarnya aku mau ke Monas di suatu hari senin. Tapi ternyata, Monas dan semua tempat wisata yang dikelola pemerintah tutup setiap hari senin. Daripada perjalananku ke Monas sia-sia, aku alihkan acaraku dengan menaiki bus tingkat gratis yang pernah aku lihat beritanya di televisi.

Ada beberapa halte bus yang bisa kita gunakan untuk naik bus tingkat gratis ini, diantaranya di Monas di depan Lemhanas, Masjid Istiqlal, bundaran HI, dan depan Gelora Bung Karno. Cuma itu sih halte yang aku tahu, sebenarnya masih ada beberapa halte yang lain lagi.

Untuk busnya sendiri, setahuku ada tiga warna dengan tiga jurusan berbeda. Ketiganya memulai perjalanan dari Monas, yang warna merah ke arah Gelora Bung Karno, warna biru ke Pasar Baru, warna kuning ke Kalijodo. Sebenarnya aku sempat melihat bus tingkat berwarna putih, tapi entah kemana rute bus warna putih itu.

Awalnya aku naik bus tingkat warna biru dari halte bus di depan kantor Lemhanas. Rencananya, aku naik bus ini sampai bus lewat di depan kantor Lemhanas lagi, baru kemudian turun. Tapi ternyata, ketika berhenti di halte bus Masjid Istiqlal, semua penumpang diharuskan turun dan melanjutkan perjalanan menggunakan bus yang lain lagi. Akhirnya aku berganti naik bus tingkat warna merah yang kebetulan sedang transit di halte bus Masjid Istiqlal.

Lanjut menggunakan bus tingkat warna merah, aku keliling sampai depan Gelora Bung Karno. Bus tingkat ini menggunakan jalur kendaraan bus biasa, bukan jalur busway, jadi terkena macet dimana-mana. Baru sampai di daerah Sudirman, aku kembali diturunkan dengan paksa di halte bus yang berada tepat di sebelah patung Jenderal Sudirman itu. Alasannya karena jam operasional bus sudah habis.

Jadi ternyata jam operasional bus ini dari Senin – Sabtu jam 09.00-17.00 sedangkan untuk hari Minggu jam 12.00-19.00. Jadi dimanapun kamu berada, kalau jam operasional bus habis, ya harus turun ditempat itu juga. Makanya, bagi yang buta wilayah Jakarta, perhatikan jam ketika naik bus ya, jangan sampai tersesat gegara diturunkan di sembarang tempat karena jam operasional habis.

Karena aku janjian sama si ayah yang sedang ngantor di dekat Tugu Tani, akhirnya aku dan Zita jalan kaki dari Sudirman sampai Thamrin, kemudian dijemput deh sama si ayah di daerah Thamrin karena jam pulang kantor si ayah adalah jam lima sore. Untung Zita sedang semangat jalan kaki dan langit Jakarta sore itu mendung tapi tak berarti hujan, jadi lumayan teduh buat jalan kaki sambil mengagumi gedung-gedung tinggi dengan lampu yang sudah mulai bergemerlapan di sore itu.


Baca juga :