Sabtu, 28 Januari 2017

Gondola Ekstrim di Pantai Timang, Wisata Gunung Kidul Yogyakarta



Seperti kita ketahui bersama, Indonesia merupakan negara yang kaya akan wisata pantai. Pantai-pantai di Indonesia terkenal indah bahkan sampai ke manca negara. Salah satu pantai indah di Indonesia khususnya di Pulau Jawa adalah Pantai Timang yang berada di Tepus, GunungKidul.
berani naik?
Namun ada hal menarik yang membedakan Timang dengan pantai lainnya, yaitu adanya gondola tradisional di tempat ini, yang mana jalur tali gondolanya berada di atas batuan karang dan ombak besar. Hayo, berani naik nggak? Gondola ini belum menyediakan asuransi bagi para penumpang gondola lho. Tenaga yang digunakan untuk menjalankan gondola adalah tenaga manusia dan bukannya menggunakan tenaga mesin.

Biaya Naik Gondola
Untuk bisa naik gondola ini, kita harus membayar 150 ribu. Lumayan mahal sih, tapi kan narik talinya juga membutuhkan banyak tenaga manusia, kalau mau murah, tarik saja talinya sendiri. Hihihi.
para penarik gondola
Gondola tradisional ini berjalan di atas batuan karang yang disertai ombak besar (seperti kebanyakan pantai di selatan Pulau Jawa yang berombak besar, ombak disinipun besar-besar). Tali yang digunakan sebagai jalur gondola meski terlihat kuat tapi sangat sederhana. Cara menjalankannya dengan ditarik oleh tenaga manusia sekitar lima sampai enam orang (mungkin tergantung berat badan penumpang gondola kali ya).

Jangan membayangkan kereta gantung yang di Ancol itu yaa. Kereta gantung disini sangat sederhana sekali, jauh berbeda dengan kereta gantung yang ada di Ancol dan TMII itu.

Rute ke Pantai Timang
Dari kota Jogja, berkendaralah ke kawasan pantai Baron, Kukup, Krakal, yang berada di Kabupaten GunungKidul. Ketika melewati gerbang masuk objek wisata kawasan pantai GunungKidul ini, kita akan ditarik biaya sebesar Rp9.500,00 per orang.

Urutan pantai di GunungKidul ini adalah sebagai berikut. Begitu memasuki gerbang, pantai pertama yang akan kita temui adalah Kukup. Selanjutnya ada Sepanjang, Watu Kodok, Drini, Krakal, dan Indrayanti. Nah, bagi yang ingin menginap di kawasan pantai GunungKidul ini, ada banyak penginapan nih di pinggir pantai Indrayanti.

Setelah melewati Indrayanti, kita masih akan melewati Pok Tunggal dan Pantai Siung sebelum akhirnya sampai di Pantai Timang. Untuk Pantai Timang, papan petunjuk jalannya memang kecil dan tidak terlihat, tidak seperti papan petunjuk ke Kukup, Krakal, dan Indrayanti yang tulisannya besar dan terlihat jelas.

Naik Ojek Rasa Kuda
Untuk dapat sampai ke Pantai Timang, jalan yang harus dilalui belumlah semulus paha para model. Jalanan ‘ndeso’, tanah becek dan berbatu, akan menemani perjalanan kita. 20 menit sebelum sampai pantai, pengunjung yang membawa mobil biasanya akan disuruh turun dan melanjutkan perjalanan menggunakan ojeg dengan ongkos 30 ribu untuk dapat sampai ke Pantai Timang.

Pantat, kaki, dan tanganku sampai pegal harus naik ojeg sepanjang jalan berbatu, menanjak dan menurun, serta berkelok. Sepanjang perjalanan, tanganku sibuk mencari pegangan supaya badanku tidak terlempar dari atas ojek yang jalannya ajrut-ajrutan ini dikarenakan jalan yang dilewati berbatu-batu besar.

Ini naik ojek tapi kok berasa naik kuda ya? Kudanya kuda liar pula. Tanganku sampai sakit saking eratnya berpegangan di body motor. Kalau tukang ojeknya mirip Brad Pitt sih enak, bisa pegangan erat ke si abang tukang ojek. Tau gini tadi motornya aja aku sewa trus aku naikin sendiri, daripada sakit pantat. Semoga akses jalan menuju Pantai Timang segera diperbaiki.

Lihat nih video gondola yang sedang jalan di video di bawah ini yaa

Baca juga : 

Kamis, 19 Januari 2017

Berburu Dolphin di Port Adelaide



Port Adelaide terletak 14 km di sebelah barat laut dari pusat kota Adelaide. Port Adelaide merupakan pelabuhan penting bagi Adelaide. Lalu apa saja yang menarik disini? Kita bisa naik cruise yang berlayar di sepanjang Port Adelaide River sampai ke ujung utara Torrens Island. Selama berlayar, kita akan ditemani kumpulan dolphins atau lumba-lumba yang berenang di samping cruise. Setidaknya itu yang kubaca di iklan yang terdapat di tempat penjualan tiket dolphin explorer cruiser yang beralamat di Queens Wharf, Commercial Road.
 
sambil nunggu kapal, bermain dulu bersama burung
Untuk bisa naik cruise ini, kita harus membeli tiket seharga AUD 8 per orang nya. Selain bisa membeli tiket secara online, kita bisa juga kok membeli tiket langsung di tempat, asal belinya paling telat 20 menit sebelum kapal berlayar ya. Untuk yang mau membeli tiket secara langsung, carilah loket tiket berbentuk van berwarna biru yang ada di pinggir Port Adelaide ini.
tempat pembelian tiket

Untuk jadwal pelayaran, biasanya sih kapal ini berlayar dua kali dalam sehari yaitu pagi dan siang, dan biasanya lagi, hanya berlayar di hari Minggu dan hari libur, jadi kalau kamu ingin naik kapal ini, cek dulu jadwal berlayarnya di dolphinexplorer.com.au ya, biar tidak kecelek seperti aku, ketika sampai di Port Adelaide, ternyata kapalnya baru akan berlayar tiga jam lagi.

Untuk mengusir rasa bosan ketika menunggu kapal berlayar, aku berkeliling di dalam pasar yang berada di sebelah tempat penjualan tiket. Di dalam pasar ini ada banyak souvenir khas Australia, berbagai macam buku, dan toko-toko penjual opal (opal disini murah dan tidak bersertifikat, tapi menarik juga kok untuk dibikin perhiasan).

Zita juga sempat membuat face painting disini seharga AUD 4. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, seekor dolphin cantik sudah tergambar manis di pipinya.
Zita sedang dilukis pipinya
 
dan inilah hasilnya
Di pintu masuk pasar, aku dan Zita sempat berfoto sama pengamen orang aborigin (penduduk awal Australia sebelum orang-orang berkulit putih banyak berdatangan ke benua ini).
bersama pengamen orang aborigin dengan bendera mereka yg berwarna hitam dan merah dengan bulatan kuning di tengah

Akhirnya, dolphin explorer pun berlayar. Cruise ini terdiri dari tiga lantai, dan aku memilih duduk di lantai teratas yang beratapkan langit. Meskipun siang hari bolong dan matahari bersinar terik, tapi udara di bulan Juli ini tetaplah dingin. Inilah yang membuat kulitku tampak gosong sepulang dari Australia. Karena dinginnya udara bulan Juli, aku jadi sering berjemur di siang hari untuk mencari sedikit kehangatan, padahal matahari disini meskipun rasanya dingin tapi tetap menghitamkan kulit.
kapal terdiri dari tiga lantai

Kembali ke atas kapal, dengan antusias aku berdiri memandang perairan disekitarku, mencari keberadaan para dolphin. Sudah lebih dari lima belas menit aku berdiri, tidak tampak keberadaan dolphin dimana-mana. Akhirnya aku menyerah, dan kembali duduk sambil menikmati chips dalam wadah ukuran jumbo seharga AUD 8 (semua makanan disini ukurannya jumbo).
 
duduk di lantai teratas
Lagi asyik-asyiknya mengunyah chips, tiba-tiba ada seseorang di bagian kiri kapal berteriak “look!”. Aku menoleh dan melihat seorang bule wanita sedang mengacungkan jarinya ke samping kiri kapal. Sekonyong-konyong para penumpang kapal berpindah tempat ke sebelah kiri. Aku sampai takut kapal akan terbalik karena semua orang berdiri di sebelah kiri. Ternyata ada sekumpulan dolphin yang sedang berlompatan di atas air. Tapi jaraknya lumayan jauh dari kapal sehingga para dolphin itu tidak terlihat dengan jelas.
 
dikeroyok burung
Sampai satu setengah jam kemudian ketika kapal sudah berada di ujung utara Torrens Island, aku tidak melihat dolphin lagi dimana-mana. Mungkin karena ini musim dingin jadi dolphinnya pada ngumpet kali ya? Dalam perjalanan pulang, aku hanya sempat melihat dolphin sebanyak dua kali, melompat tepat di depan tempat dudukku, dan kemudian dia menghilang ke bawah air dan tidak muncul lagi.

Ketika kapal kembali merapat ke dermaga, begitu turun dari kapal, aku disambut oleh anak-anak yang banyak berderet di pinggir jalan sambil memainkan alat musik biola. Ternyata mereka adalah pemusik jalanan. Kalau di Indonesia seperti pengamen cilik yang membawa gitar kecil gitu deh. Bedanya, pengamen di Australia ini pakaiannya rapi-rapi.

Baca juga :

Selasa, 10 Januari 2017

Sikunir Dieng, Negeri di Atas Awan



Malam itu, satu jam sebelum tengah malam, aku, Zita dan si ayah berkendara di tengah kegelapan menuju Dieng. Rute kami adalah sebagai berikut, dari tengah kota Magelang jam sebelas malam melaju ke arah Secang, kemudian belok kiri lewat Temanggung, lalu melintasi Kepil yang berada di tengah Sindoro dan Sumbing, setelah sampai Kertek belok kanan, menyusuri jalan sampai ke Alun-alun Wonosobo.

Rencana awal sebenarnya kami ingin lewat jalur yang lebih dekat, yaitu lewat Parakan belok kanan ke arah Ngadirejo (aku sering lewat sini kalau naik Santoso lewat Weleri). Ketika ketemu perempatan Ngadirejo – Jumo belok kiri melewati perkebunan teh Tambi, sampai akhirnya ketemu jalan raya Dieng.
 
Zita di ketinggian 2295 mdpl, mengucapkan selamat pagi dari Negeri di Atas Awan
Tadinya aku ingin lewat jalur alternatif ini karena selain lebih dekat 15 km, juga karena ini adalah musim libur Natal dan libur sekolah jadi takutnya terjadi kemacetan di jalur utama. Tapi setelah tanya sana sini ternyata jalur alternatif ini lumayan ekstrim kelokan dan tanjakannya, serta lebar jalannya sempit sehingga kalau berpas-pasan dengan mobil lain lumayan bahaya karena banyak jurang yang tidak terlihat.


Kalau siang sih jalannya kelihatan tetapi kalau malam tidak terlihat, jalanan minim lampu penerangan, jadi takutnya roda tergelincir ke jurang, atau mesin tidak kuat nanjak dan tidak ada yang membantu karena jalur ini sepi akan rumah penduduk. Akhirnya kami memutuskan pulangnya saja lewat jalur ini karena rencana kami pulang pada siang hari, jadi jalannya bisa terlihat jelas.

Dan ternyata ketika pulang lewat jalur alternatif Tambi ini, pemandangannya memang lebih indah dari jalur utama, puncak Sindoro terlihat dekat dari sini, sepertinya hanya butuh waktu beberapa jam trekking untuk bisa sampai puncak Sindoro. Sayangnya jalur ini tidak dilewati kendaraan umum, sehingga para pendaki yang ingin ke puncak Sindoro lebih banyak naik lewat Kepil yang banyak dilalui kendaraan umum (jadi kangen masa SMA ketika aku sering naik ke puncak Sindoro Sumbing).

 
sunrise dari Sikunir
Ketika pulang siang hari lewat jalur yang sepi ini, kami berpas-pasan dengan beberapa kendaraan yang tidak kuat menanjak, mogok di jalan, dan sebagian besar kendaraan yang berpas-pasan dengan kami berplat nomer B, mungkin mereka melewati jalur ini karena mengikuti panduan GPS (kalau mencari jalur terdekat memang oleh GPS ditunjukkan lewat jalur Tambi ini yang lebih ngirit 15 km).

Kembali ke Jalur Utama
Kembali ke jalur utama, yaitu jalur keberangkatan kami. Tiba di alun-alun Wonosobo, papan petunjuk jalan ke arah Dieng sudah banyak bertebaran dan gampang ditemukan. Tidak begitu jauh dari alun-alun Wonosobo, sampailah kami di pintu gerbang Kawasan Wisata Dieng. Di pintu ini kami ditarik biaya Rp10.000,00 per orang. (Kalau lewat jalur Tambi tidak akan melewati alun-alun Wonosobo dan gerbang utama ini).

Begitu memasuki kawasan wisata Dieng, kami mengikuti papan petunjuk jalan ke arah Sikunir. Dieng mempunyai banyak tempat wisata diantaranya kawasan lembah Dieng, kawasan dataran tinggi Dieng, Dieng Plateau Theater, gardu pandang Setieng, Tuk Bima Lukar, Kawah Sikidang, Telaga Warna, dan sebagainya. Karena tujuan pertama kami adalah menikmati sunrise dari puncak Sikunir, maka kesanalah kami memacu kendaraan.

Rute ke Sikunir
Dari gerbang utama, tempat pertama yang kami temui adalah jalur trekking ke puncak Prau yang berada di sebelah kanan jalan. Treking ke puncak Prau ini lebih melelahkan daripada ke puncak Sikunir, berkali-kali lipat lebih jauh dan lebih sulit medannya. Karena ada si kecil Zita yang belum berpengalaman naik gunung, maka kami lebih memilih menikmati sunrise dari puncak Sikunir.
 
Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa
Ketika menemukan pertigaan utama, kendaraan kami berbelok ke kiri, sedangkan untuk kendaraan umum (bus ukuran tanggung yang banyak lewat sini) beloknya ke kanan. Jalan yang kami lewati semakin menanjak dan udaranya semakin dingin. Pemandangan indah terhampar di samping kanan kami, berupa kerlip lampu-lampu rumah yang terlihat sangat jauh di bawah sana.

Setelah beberapa saat berkendara, kami memasuki gerbang bertuliskan ‘Selamat Datang di Sembungan Village, Desa Tertinggi di Pulau Jawa’. Begitu melewati gerbang ini, jalan aspal semakin menyempit. Banyak tempat menginap berderet di kanan dan kiri jalan, dan para penginap memarkir mobil mereka di pinggir jalan membuat jalan yang sudah sempit menjadi semakin sempit.
 
tuh liat, kalau ada dua mobil susah kan?
“Dulu jalannya lumayan lebar, sekarang jalan menjadi sempit karena banyaknya tempat menginap yang berdiri di sepanjang jalan, membuat jalan tambah sempit” cerita temanku yang beberapa tahun lalu pernah kesini.

Begitu kumpulan tempat menginap kami lewati, jalan aspal yang kami lalui semakin menyempit lagi, sepertinya hanya muat untuk satu mobil saja. Dan akhirnya, sampailah kami di tempat parkir Sikunir yang luas, yang hanya berisi enam mobil saja pada jam dua dini hari itu.

“Jalannya sempit amat mas, muat nggak untuk dua mobil?” tanyaku pada si mas tukang parkir. “Disini pakai sistem buka tutup mbak, sekarang yang dibuka untuk jalur ke atas dulu, nanti kalau sunrise-nya sudah lewat, baru jalan ke bawah dibuka dan untuk yang keatas ditutup dulu” jawab si mas memberi penjelasan sambil menarik ongkos parkir sebesar Rp10.000,00 per mobil. Karena masih jam dua dini hari, akhirnya kami tidur dahulu di dalam mobil.
 
sudah siang, mobil yang parkir sudah banyak berkurang
Kami terbangun dua jam kemudian yaitu ketika mendengar suara adzan Subuh. Ketika keluar dari mobil, tempat parkir luas yang tadinya baru berisi enam mobil saja, kini sudah ada seratusan mobil dan duapuluhan elf terparkir disini, dan mobil-mobil lain masih terus berdatangan membanjiri tempat parkir yang sudah penuh sesak ini.

Jalur Trekking ke Puncak Sikunir
Untuk dapat naik ke Puncak Sikunir, kami ditarik biaya lagi sebesar Rp10.000,00 per orang. Kalau ditotal sepertinya habis banyak nih karena di setiap titik wisata ditarik ongkos per orang dan biaya parkir mobil. Belum lagi uang yang kami habiskan untuk ke toilet, karena dinginnya udara disini, setiap satu jam kami harus masuk toilet dengan biaya 2 ribu per orang. Waduh, untuk buang air saja sudah habis banyak duit tuh.
 
jalan landai sebelum naik
Untuk yang mau naik ke Puncak Sikunir, jangan lupa bawa senter ya, karena jalur trekkingnya gelap, tidak ada lampu penerangan jalan. Bagi yang lupa bawa senter, di sepanjang jalan trekking ada kok yang jualan senter. Selain penjaja senter, di sepanjang jalan ini dipenuhi oleh penjaja makanan dan minuman untuk penghangat tubuh, serta para penjual jaket, syal, topi, dan sarung tangan.

Pada awal jalur pendakian, jalannya masih landai, rapi, ramai oleh penjual, dan terang oleh lampu jalanan. Tetapi begitu tangga batu pertama terlihat, jalanan mulai gelap dan sepi oleh penjual.
 
tangga naik bagian bawah masih rapi, semakin keatas semakin tdk beraturan bentuknya
Jalur trekking terbuat dari tangga batu yang tidak beraturan ukurannya, sebelah kanan tebing, dan sebelah kiri jurang yang gelap. Aku dan Zita sempat terpisah sama si ayah di tengah jalan, padahal si ayah lah yang membawa senter. Akhirnya aku mengandalkan bantuan cahaya dari pendaki lain yang membawa senter. Ketika Zita lelah, kami duduk beristirahat di tengah kegelapan, menantikan pendaki lain di belakang kami yang membawa senter. Begitu ada pendaki lain yang lewat membawa senter, kami ikut jalan lagi. Begitu seterusnya sampai satu jam lebih kami berjalan naik dan naik, akhirnya sampailah kami pada saat yang berbahagia, yaitu di puncak Sikunir.
 
Sikunir di hari libur, ruamenee poll
Kami menantikan detik-detik pertama sinar mentari mulai muncul di tengah dinginnya udara. Dan ketika puncak ini mulai dikelilingi cahaya, barulah terlihat betapa penuh sesaknya tempat ini, sampai-sampai mau jalan saja susah, apalagi foto selfie cantik di atas awan. Hmm, sebaiknya jangan kesini di musim libur kalau ingin foto selfie eksklusif.

Baca juga :