Rabu, 27 Juli 2016

Memandang Negeri Seberang dari Batam



Batam, yang konon katanya merupakan pintu masuk Indonesia terbesar ketiga setelah Jakarta dan Bali. Ada apa disana?
mendarat di Hang Nadim

Hamparan tanah berwarna merah menyambutku begitu aku mendarat di Bandara Hang Nadim Batam. Libur sekolah kali ini, aku mengajak Zita mengunjungi om-nya. Ya, adikku sudah tinggal di Batam setahun terakhir, bekerja di Infinite Frameworks Studios yang terletak di Nongsa, sebuah perusahaan yang membuat film-film bioskop, terutama film animasi, aksi, dan fantasi. Sudah banyak artis dalam dan luar negeri yang syuting film di studio ini. Bahkan Trans7 pernah menayangkan berita tentang studio ini sebagai 'Studio Animasi Terbesar di Asia Tenggara' dalam acara Spotlite.
tanah seperti ini yg ada di Batam, berwarna merah


Sebuah mobil berplat nomor BP (plat nomer untuk daerah Kepulauan Riau) menjemputku di pintu kedatangan. Sepanjang perjalanan menuju Kabil (tempat rusunawa dimana aku akan tinggal beberapa hari ke depan), hanya tanah berwarna merah yang tertangkap mataku. Tidak ada sawah satu pun yang kutemui, tidak seperti di Pulau Jawa dimana ada sawah disetiap tempat. Entah dimana orang-orang Batam membeli beras kalau mereka tidak punya sawah berisi padi.


Welcome to Batam
Tulisan ‘Welcome to Batam’ merupakan tempat pertama yang kucari. Selama search tentang Batam, selalu bukit bertuliskan ‘Welcome to Batam’ yang pertama kali kutemukan, membuatku penasaran ingin foto di depannya.


Tulisan ‘Welcome to Batam’ ternyata langsung terlihat begitu aku memasuki pusat kota Batam. Tapi, dimana ya tempat supaya aku bisa berfoto dan tulisan ‘Welcome to Batam’ itu bisa terlihat dekat dan tanpa halangan dedaunan pohon sedikitpun? Kalau melihat foto yang beredar di internet, sepertinya orang-orang itu bisa berfoto dekat sekali dengan bukit bertuliskan ‘Welcome to Batam’ itu.

Akhirnya aku menemukannya, sebuah tempat parkir di dekat Masjid Raya Batam, menjadi tempat terdekat dari tulisan ‘Welcome to Batam’ itu. Dari sini, aku bisa berfoto tanpa halangan sedikitpun diantara aku dan tulisan ‘Welcome to Batam’.

Luar Negeri Terlihat Begitu Dekat Dari Sini
memandang negeri seberang dari menara Masjid Jabal Arafah


Tempat kedua yang ingin aku kunjungi, adalah tempat dimana Singapore bisa terlihat. Adikku langsung mengajakku ke Masjid Jabal Arafah. Kenapa masjid? Karena masjid ini mempunyai menara, darimana Singapore bisa terlihat dari puncak menaranya.

Biaya lift ke puncak menara adalah 5 ribu rupiah per orang. Dari puncak menara, terlihat Marina Bay Sands, salah satu ikon Singapore, sebuah bangunan dengan tiga gedung utama yang dihubungkan bangunan berbentuk kapal diatasnya.
bayang samar Marina Bay Sand dilihat dari Menara Masjid Jabal Arafah


Bagiku yang tinggal di Pulau Jawa, luar negeri itu begitu jauh. Tetapi disini, luar negeri terlihat begitu dekat, berada di depan mata. Ada apa di seberang sana? di seberang sana, orang-orang berbicara dengan bahasa asing. di seberang sana, rupiah tidak berlaku, berganti dengan dolar. di seberang sana, bendera yang berkibar bukanlah Merah Putih. di seberang sana, adalah sebuah negeri lain. Seandainya aku belum pernah ke seberang sana, tentulah aku penasaran dan ingin menyeberang. Tetapi karena aku sudah pernah ke utara sana, kali ini aku lebih memilih berlayar ke timur, dan menjelajah ke selatan.
Sekupang Ferry Terminal

Sekupang International Sea Port
Setelah melihat Singapore, aku jadi ingin melihat Sekupang, pelabuhan yang menghubungkan Indonesia dengan negara-negara tetangga di sebelah utara, terutama Singapore dan Malaysia. Pelabuhan ini terletak di pantai barat Pulau Batam.




Coastarina
Selain tulisan ‘Welcome to Batam’, foto yang sering muncul jika kita search ‘Batam’ adalah tulisan ‘Coastarina’ yang berukuran besar. Dari Coastarina ini ternyata tulisan ‘Welcome to Batam’ juga terlihat meskipun tampak jauh di seberang perairan.

Coastarina tertutup panggung

Sayangnya, ketika aku ke Coastarina, tulisan ini sedang tertutup oleh panggung yang berdiri di tengah tulisan ‘Coastarina’.
 


Hal Menarik di Batam
Hampir semua siaran radio dan televisi berbahasa asing, seperti bahasa Mandarin atau bahasa orang-orang Tionghoa. Tiap kali aku mengganti chanel radio, selalu bukan orang berbahasa Indonesia yang aku temukan, melainkan bahasa asing yang tidak kumengerti sama sekali.

Kabel-kabel listrik di pusat kota Batam, tidak berseliweran di udara, melainkan sudah banyak yang ditanam di dalam tanah, membuat jalanan terlihat lebih rapi.

Pembangunan terlihat dimana-mana. Puing-puing gedung yang baru setengah jadi, menghiasi pulau ini.

Minggu, 17 Juli 2016

Kangaroo Island, Serasa Menjelajah Pulau Pribadi



Yaris putih yang kami sewa di ‘budget rent car’ yang beralamat di 274 North Terrace (Cnr Frome St) Adelaide dengan harga sewa sekitar AUD 42 per hari (belum termasuk asuransi dan deposit), melaju kencang di jalanan luar kota Australia yang sangat sangat sepi sekali.

Sebelum boleh meminjam mobil putih ini, si pemilik mobil sempat berpidato di depan kami, tentang tata cara mengemudi di Australia dan pentingnya asuransi. Karena orang itu ngomongnya cepat banget, pakai English pula, hanya 30% kalimat-kalimat panjangnya yang dapat dicerna oleh otakku yang lemot ini. Sedangkan si ayah disebelahku, sibuk mengangguk-angguk sok paham.
“Where do you live in Indonesia?” tanya si empunya mobil.
“Jakarta.”                                                                        
“I know about Jakarta. There’s the centre of traffic, right? Pusat kemacetan di Indonesia? Kalau kamu bisa menyetir di Jakarta, kamu tentu bisa menyetir di jalanan yang sepi di Australia ini. Oke. Kamu boleh membawa mobilku.”
Dan, kunci mobil berplat nomer S263AVO berpindah dengan sukses ke tangan si ayah. Kami segera berkendara menuju Cape Jervis (106 km dari Adelaide). Cape Jervis ini merupakan tempat dimana SeaLink berlabuh, kapal yang akan membawaku ke Kangaroo Island, pulau terbesar ketiga di Australia setelah Tazmania dan Melville.
Aku tau tentang Kangaroo Island pertama kali adalah ketika membaca buku temanku sendiri yang bernama Anida Dyah, dia menuliskan tentang Kangaroo Island sebagai “sebuah pulau yang dihuni oleh ribuan aneka flora dan fauna asli Australia yang hidup liar tapi terlihat sangat jinak. Kita bisa saja berpapasan dengan kanguru, wallaby, wombat, dan bandicoot di belokan jalan, beristirahat di bawah pohon yang dihuni oleh koala dan possum, bahkan berenang dengan lumba-lumba disaksikan oleh singa laut yang bermalas-malasan di atas bebatuan.” Siapa yang tidak tertarik pergi ketempat itu coba?

“Lihat! Ada kanguru!” teriakku mengagetkan si ayah yang sedang menyetir. Sebenarnya aku sudah beberapa kali melihat kanguru melompat bebas ketika menempuh perjalanan Sydney – Melbourne lewat darat beberapa waktu yang lalu. Tapi kanguru kali ini, berdiri di pinggir jalan, tepat di sebelah mobil, membuatku tanpa sadar berteriak antusias. “Ntar di Kangaroo Island juga banyak banget kanguru menyeberang jalan” kata si ayah yang sudah pernah ke Kangaroo Island sebelumnya.



Kami tiba di Cape Jervis jam 8 pagi, dengan bantuan GPS. Semua mobil di Australia sudah dilengkapi dengan GPS yang biasanya tergantung di kaca depan. GPS disini cerewet sekali, ‘turn right five hundred meters ahead’ teriaknya, atau ‘over road’ jika kami salah mengambil belokan. Sesekali GPS juga berteriak ‘you are over limit’ jika kecepatan mobil melebihi peraturan.

SeaLink
Jam 9 pagi, kami sudah berada di dalam SeaLink yang berenang perlahan menuju Kangaroo Island. Tiket kapal ini adalah AUD 49 per orang untuk sekali jalan (one way). Dan biaya angkut mobil AUD 98 one way. Hhhh, sangat menguras kantong sebenarnya. Dalam sehari, SeaLink melayani 4 kali pelayaran.



Penneshaw, gerbang masuk Kangaroo Island
Sekitar satu jam berlayar, kami tiba di Penneshaw, gateway to Kangaroo Island. Pelayaran berjalan tenang dalam cuaca yang baik sehingga perairan tidak begitu bergelombang. Begitu duduk kembali di dalam mobil, aku langsung membentangkan peta Kangaroo Island yang aku dapat dari dalam kapal tadi.
 
sendirian di Prospect Hill

Kangaroo Island membentang sejauh 155 km dari timur ke barat, dan dihuni oleh sekitar 4600 orang. Ada dua jalur utama dalam peta itu, jalur utara dan jalur selatan. Kebanyakan titik-titik tempat wisata berada di jalur selatan.

“Hari ini kita menjelajah bagian timur dulu, batasnya sampai Kingscote karena ntar malam kita nginap di Kingscote. Besok kita menjelajah bagian barat. Kapal kita akan berlayar kembali ke Cape Jervis besok sore jam 17.30” kata si ayah menjelaskan.



Prospect Hill
Dalam perjalanan menuju Kingscote (ibukota Kangaroo Island), kami mampir ke sebuah bukit yang bernama Prospect Hill. Hanya ada mobil kami di tempat parkir, duduk sendirian, sepi. Aku berjalan di jalan tanah, dengan gerumbulan semak di sekelilingku. Hanya terdengar suara gagak berkaok-kaok yang terbang mencari mangsa di atas kepalaku.

Tidak berapa lama, aku menemukan tangga kayu yang memanjang ke atas, berkelok-kelok ke arah puncak Prospect Hill. Satu demi satu, kaki kulangkahkan meniti tangga itu. Di sepanjang jalan, banyak terdapat papan peringatan, dengan berbagai gambar jejak binatang yang berbeda, memberitahuku supaya berhati-hati, karena masih banyak hewan liar di sekitar sini.
 
jalan menuju puncak Prospect Hill

Sampai di puncak Prospect Hill, alam indah Kangaroo Island terlihat. Pohon-pohon berwarna hijau, perairan yang mengelilingi pulau, jalan mulus memanjang tanpa penghuni.

Dulunya, bukit ini didaki oleh Matthew Flinders pada 4 April 1802, dan diberi nama Prospect Hill. Tetapi sekarang, banyak penduduk lokal menyebut bukit ini sebagai Mount Thisby.



American River
Kembali menuju Kingscote, untuk kedua kalinya kami keluar dari jalan utama, kali ini ke arah American River. Tempat ini merupakan sebuah ‘little town’ yang dihuni oleh sekitar 250 orang. Nama American River diberikan setelah serombongan pelaut Amerika mendarat disini pada tahun 1803.

Tempat paling menarik disini yaitu Pelican Lagoon, dimana banyak banget Pelican (burung besar berparuh panjang), bersantai di pinggir pantai.

Emu Bay
Emu adalah nama burung asli Australia, dengan tubuh yang berukuran besar, Emu menjadi burung yang tidak dapat terbang terbesar kedua di dunia, setelah burung Unta. Tinggi burung Emu bisa mencapai 2 meter, dengan berat 45 kg.
 
jetty di Emu Bay

Sesuai namanya, di Emu Bay banyak burung Emu berkeliaran. Aku menghabiskan waktu sepanjang sore disini, sambil menikmati sunset di pinggir perairan yang tenang. Didepanku, terlihat jetty yang memanjang ke arah laut, dengan ujung yang terlihat jauh. Sedangkan di belakangku, rumah-rumah penduduk diam membisu, memberikan ketenangan, sebuah tempat yang sangat menarik untuk menghabiskan masa tua.

memandang daratan dari ujung jetty

Bersambung.. kesini

Kamis, 07 Juli 2016

Genting Highland, Las Vegas-nya Malaysia



Genting Highland, merupakan tempat berjudi legal di Malaysia, terletak di puncak pegunungan Titiwangsa dengan ketinggian 1.865 meter, membuat udara di tempat ini sejuk dan dingin. Genting Highland berada di perbatasan negara bagian Pahang dan Selangor (51 km dari Kuala Lumpur), dan dikenal juga sebagai Las Vegas-nya Malaysia. Untuk dapat sampai ke tempat ini, bisa kamu baca ulasannya disini.

Didirikan oleh Lim Goh Tong dari Fujian Cina pada awal tahun 1960-an, di tempat ini terdapat Hotel First World yang mempunyai 7.351 kamar, menjadikannya hotel terbesar di dunia.

Selain hotel, Genting Highland juga mempunyai tempat belanja yang lengkap, wahana bermain, theme park, dan tentu saja casino. Untuk dapat masuk ke casino, kita harus berpakaian rapi dan mengenakan sepatu, tidak boleh memotret di dalam casino, serta tidak boleh membawa anak kecil.

 

di depan Resort World
banyak mobil mewah disini
wishing well, roll a coin, make a wish
Snow world, sebuah tempat dimana kamu bisa merasakan musim salju walau berada di negara tropis seperti Malaysia, dapat juga kamu temukan di Genting Highland ini.





















































































Baca juga :